Senin, 17 November 2008

Tanjungkerta

Tanjungkerta merupakan salah satu kecamatan yang berada di kabupaten Sumedang Jawa Barat. Seperti halnya kecamatan lain, kecamatan yang memiliki luas 4.013 km2 dengan memiliki 11 desa. Kecamatan Tanjungkerta terletak disebelah utara kecamatan Surian/Tanjungmedar, sebelah selatan kecamatan Cimalaka, sebelah barat kabupaten DT II Subang, dan sebelah timur Kecamatan Congeang. Kawasan yang dikelilingi pegunungan ini memiliki potensi alam yang cukup baik. warga setempat bermata pencaharian sebagai petani pada umumnya.

Seiring dengan perubahan jaman dan kepemimpinan Kabupaten Sumedang, Tanjungkerta mengalami beberapa perubahan seperti luas wilayah dan jumlah desa menjadi kecamatan pamekaran. Salah satunya Tanjungmedar yang asalnya sebuah desa menjadi kecamatan Tanjungmedar sebagai daerah pemekaran Tanjungkerta.

Kecamatan Tanjungmedar Kabupaten Sumedang

Kecamatan Tanjungmedar terletak di kabupaten Sumedang yang merupakan Kecamatan pemekaran pada tahun 2008 dari Kecamatan Tanjungkerta. Kecamatan ini memiliki luas wilayah 6.514 km2 dengan jumlah penduduk 25.120 jiwa. Mayoritas penduduk bermata pencahariannya adalah wirausaha dan petani. Daerah ini merupakan daerah perbukitan yang memiliki potensi alam dengan tanahnya yang gembur tumbuh rempah-rempah yaitu kencur. Kecamatan Tanjungmedar terdapat lokasi indah yang perlu dikembangkan yaitu blok 4. Disana dapat melihat pemandangan alam dan lampu kota Subang dimalam hari. Semua komoditas dan potensi itu sedang dikembangkan, selain agar lebih maju dan dikenal luas, juga mampu meningkatkan produksi dan arus wisatawan yang datang. Salah satu upaya mengembangkan potensi-potensi tersebut, dengan membangun berbagai simpul seperti ekonomi dan wisata dengan cara penataan tempat.

Kecamatan Tanjungmedar terletak di sebelah utara Kecamatan Surian, sebelah selatan Tanjungkerta, sebelah barat daerah tingkat II Subang dan Sebelah timur Kecamatan Buahdua. Kecamatan ini terdapat delapan desa diantarannya adalah desa Jingkang, Kamal, Kerta Mukti, Cikaramas, Margahayu, Suktani, Tanjung Wangi, dan Tanjung Medar.

Sementara itu, Tanjungmedar di belahan timur sekitar daerah desa Tanjungmedar terdapat gunung geulis yang dijadikan tempat jiarah. Gunung geulis yang berasal dari bahasa sunda Geulis yang berarti cantik, menurut warga gunung ini masih dipercaya sebagai tempat pengabul permintaan seperti jodoh, karir dan sebaginya, namun itupun sedikit berkurang seiring dengan perubahan jaman. Selain itu tebing gunung Geulis yang memiliki karakteristik batunya yang kuat pernah digunakan sebagai sarana latihan militer namun itupun tidak berlangsung lama karena mistiknya yang masih kental.

Profil Kecamatan Buahdua, Kabupaten Sumedang.

Kecamatan Buahdua adalah salah satu Kecamatan yang terdapat di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Luas darat Kecamatan Buahdua adalah ± 8.954.784 Ha, yang terdiri dari tanah perkebunan, sawah, hutan, kolam, dll. Adapun batas wilayah Kecamatan Buahdua yaitu, sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Indramayu, Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cimalaka/Tanjungkerta, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Congeang dan Barat berbatasan dengan Kecamatan Surian.

Desa yang terdapat di Kecamatan Buahdua berjumlah 13 Desa, diantaranya Desa Bojongloa, Buahdua, Cibitung, Cikurubuk, Cilangkap, Citaleus, Gendereh, Hariang, Karangbungur, Mekarmukti, Nagrak, Panyindangan, dan Sekarwangi. Yang terdiri dari 45 Dusun, 84 RW, dan 265 RT. Kabupaten Sumedang merupakan wilayah agraris yang penduduknya masih bergantung pada produksi alam. Begitu juga di Kecamatan Buahdua yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani.

Kecamatan ini memiliki potensi wisata yaitu wisata pemandian air panas yang memiliki dua daerah pemandian air panas. Selain itu Kecamatan Buah Dua memiliki Taman Wisata Alam Gunung Tampomas. Keadaan lapangan kawasan Taman Wisata ini bergunung-gunung dengan ketinggian antara 625 - 1.684 meter di atas permukaan laut. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson sebagai berikut: Iklim termasuk tipe iklim B Curah hujan rata-rata 3.518 mm per tahun. Selain dari sektor pariwisata terdapat beberapa perkebunan palawija seperti kacang tanah, dan jagung setiap tahunya memproduksi 120 ton pertahunnya.

Kecamatan Buahdua

Provinsi : Jawa Barat

Kabupaten : Sumedang

Luas Darat

1. Tanah perkebunan : 1.334.443 Ha

2. Tanah Sawah : 2.675.194 Ha

3. Hutan : 2.901.868 Ha

4. Kolam : 1.831.935 Ha

5. Lain-lain : 211.344 Ha

Jumlah Penduduk

1. Laki-laki : 31.410 Orang

2. Perempuan : 15.444 Orang

3. WNA : ~

4. KK : 10.006 KK

Jumlah Desa : 13

Dusun : 45

RW : 84

RT : 265

Jumat, 03 Oktober 2008

potensi wisata alam sumedang



ini adalah salah satu keindahan alam sumedang. ci herang terletak sebelah barat kota sumedang tepatnya tanjung sari.

Jumat, 19 September 2008

Peninggalan budaya

Hingga kini, Sumedang masih berstatus kabupaten, sebagai sisa peninggalan konflik politik yang banyak diintervensi oleh Kerajaan Mataram pada masa itu. Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang letaknya tepat di selatan alun-alun kota Sumedang, bersatu dengan Gedung Srimanganti dan bangunan pemerintah daerah setempat.

Prabu Geusan Ulun

Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Beliau menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.

Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.

Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.

Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.

Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dam karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang.

Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.

Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak:

  1. Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
  2. Raden Aria Wiraraja, di Lemahbeureum, Darmawangi
  3. Kiyai Kadu Rangga Gede
  4. Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
  5. Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
  6. Raden Ngabehi Watang
  7. Nyi Mas Demang Cipaku
  8. Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
  9. Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
  10. Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
  11. Nyi Mas Rangga Pamade
  12. Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
  13. Rd. Suridiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panemabahan Ratu
  14. Pangeran Tumenggung Tegalkalong
  15. Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.

Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).


Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)

Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.

Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.

Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.

Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.

[sunting] Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri

Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.

Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu :

1. Pangeran Angkawijaya (yang tekenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
2. Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
3. Kiyai Demang Watang di Walakung.
4. Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
5. Santowaan Cikeruh.
6. Santowaan Awiluar.

Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.